Oleh : Muhaimin Iqbal
Taken from : http://geraidinar.com/index.php/using-joomla/extensions/components/content-component/article-categories/84-gd-articles/umum/1088-25-tahun-menikah-25-tahun-bahagia
Tidak
biasanya saya menulis tentang keluarga di situs ini, tetapi karena ada
sebuah penerbitan yang minta saya berkontribusi untuk sebuah buku kado
pernikahan – maka tulisan khusus ini saya buat. Hari ini (02/10/12)
tepat dua puluh lima tahun sejak kami menikah (02/10/87), saya mestinya
menulis tentang suka duka pernikahan setelah seperempat abad berlalu.
Tetapi sungguh di luar dugaan, saya tidak bisa mengingat kapan ada duka
dalam pernikahan ini. Ndak percaya ?
Saya
sendiri semula tidak percaya kalau tidak pernah ada duka dalam
pernikahan saya, pasti ada – pikir saya. Saya coba ingat-ingat tetap
tidak menemukan, yang saya temukan malah ingatan saya pada sebuah hadits
panjang yang penggalannya adalah sebagai berikut : “Kemudian
didatangkan seorang penghuni jannah yang paling sengsara sewaktu di
dunia, lalu ia dicelupkan sekali celupan di jannah, kemudian ia
ditanya,” Adakah engkau merasakan penderitaan? adakah engkau pernah
merasakan kesengsaraan?” Ia menjawab,”Tidak, demi Allah wahai Rabbku.
Aku tidak merasakan penderitaan sedikitpun dan sama sekali belum pernah
mengalami kesengsaraan.” (HR Tirmidzi)
Barangkali
seperti penghuni jannah tersebutlah yang kami rasakan, tentunya juga
pernah kami merasakan duka selama 25 tahun menikah – tetapi karena
begitu lebih besarnya kebahagiaan itu sehingga ia mampu menutupi
(overwhelm) duka-duka kecil yang ada selama dalam perjalanan.
Maka
bila pengalaman ini berguna bagi para pasangan baru atau yang relatif
baru, berikut adalah beberapa ‘catatan perjalanan’ seperempat abad itu :
Fokus Membangun Keluarga Bukan Pada Meriahnya Pesta…
Banyak
yang lucu-lucu dalam pernikahan kami yang serba sederhana, di antaranya
adalah tiga hari menjelang pernikahan kami, (calon) mertua bertanya
kepada (calon) istri saya : “Lha bojomu iki endi to nok, sido opo ora kawine – lha (calon) suamimu itu mana sih neng, jadi apa tidak nikahnya ?”.
Ini karena kami hanya berkomunikasi lewat surat sebelum hari H, tidak
ada acara lamaran formal dan tidak ada rencana acara pesta yang meriah,
maka wajar kalau calon mertua was-was jadi tidaknya perkawinan kami –
sampai tiga hari sebelumnya.
Dalam
perjalanan di bus malam menuju rumah calon mertua, saya baru ingat
bahwa saya belum menyiapkan mas kawin. Lantas ketika bus malam
berhenti, saya melihat apa yang ada di sekeliling – saya lihat ada
sajadah yang dijual di toko pinggir jalan, maka itulah yang saya beli
untuk mas kawin.
Tapi
rasanya ndak pas kalau hanya sajadah ini yang saya gunakan sebagai mas
kawin, maka saya tambahi dengan uang sebesar Rp 3,925,- . Ketika mas
kawin ini saya ucapkan pada waktu ijab-qobul, orang-orang pada berbisik “kuwi mesti ono maknane – jumlah uang (yang ganjil) itu pasti ada artinya”. Dalam hati saya juga berbisik balik, “iyo pancen ono maknane – maknane pancen ora duwe duwit ! iya memang ada maknanya – maknanya ya sederhana saja , ya memang ndak punya uang !”.
Orang
Jawa pada umumnya memingit penganten nggak boleh bepergian sampai
beberapa hari, tetapi karena saya hanya cuti satu hari – yaitu hari
Jum’at 2 Oktober 1997, hari H pernikahan kami, sehari setelah pernikahan
itu – istri sudah langsung saya boyong ke Jakarta – perjalanan
pernikahan yang sesungguhnya mulai saat itu.
Cukup Dengan Yang Sedikit…
Tidak
ada karir yang langsung menanjak dan rumah yang langsung bagus, semua
harus mulai dari awal. Maka wajar saja kalau keluarga baru memiliki
rezeki yang pas-pasan, tetapi rezeki yang sedikit itu sudah dijamin
kecukupannya oleh Allah Yang Maha Tahu atas apa yang kita butuhkan.
Istri
saya tidak pernah tahu dan tidak ingin tahu penghasilan saya selama 25
tahun ini, ini baik untuk dia dan baik untuk saya. Baik untuk dia karena
penghasilan suami itu tidak pernah mengotori hatinya, baik untuk saya
karena agar saya bisa melaksanakan kewajiban lain secara lebih leluasa
seperti kepada orang tua, kaum kerabat dlsb.
Tambah Anak Tambah Rezeki…
Entah
ini ungkapan dari mana asalnya, tetapi karena ini sejalan dengan janji
Allah akan rezeki dariNya untuk setiap anak-anak kita – maka siapa yang
lebih memenuhi janji dari Dia ?.
Anak
demi anak lahir, bersamaan dengan itu pula rezeki bertambah. Ketika
anak pertama lahir, saya diangkat jadi manajer di perusahan tempat
bekerja. Anak kedua lahir bersamaan dengan pengangkatan jadi General
Manajer di perusahaan yang lain.
Anak
ketiga lahir di puncak krisis keuangan Indonesia 1998, tetapi saat itu
saya sudah beberapa tahun menjadi direksi perusahaan publik di negeri
ini, sehingga saya beri nama belakang anak ketiga ini dengan Qona’ah
sebagai bentuk rasa kecukupan dan kesyukuran atas apa yang diberikan
olehNya.
Ikan Tidak Menjadi Asin Di Laut…
Di
jaman itu, tidak mudah untuk bisa memilih tempat bekerja yang aman bagi
keimanan dan ketakwaan kita. Enam tahun saya pernah bekerja di
perusahaan asing yang sangat sukses di bidangnya, tetapi juga sangat
rusak lingkungannya. Di perusahaan itu perselingkuhan meraja-lela, dari
bawahan sampai pimpinan perusahaan – rusak semua keluarganya. Rasanya
seperti selamat dari tepi jurang neraka ketika berhasil keluar dari
perusahaan itu sebelum ikut-ikutan rusak.
Bersamaan
pindah ke perusahaan yang lebih bermoral, tempat tinggal pindah,
pertemananpun berubah. Dari sini saya belajar betapa rentannya
keluarga-keluarga muda di kota besar, bila mereka tidak pintar-pintar
memilih lingkungan kerja, lingkungan pergaulan, lingkungan pendidikan
untuk anak-anaknya dst.
Pindah Kwadrant…
Sebagian
karena berusaha memilih lingkungan kerja yang lebih baik, sebagian juga
karena keinginan untuk aktualisasi diri – saya sepakat dengan istri
untuk mengakhiri bekerja di perusahaan orang lain 10 tahun lebih awal
dari rata-rata usia orang pensiun.
Hari
masih siang ketika untuk pertama kalinya dalam 21 tahun karir
pekerjaan, saya pulang sebelum waktunya – karena hari itu pekerjaan saya
resmi berakhir ketika ketok palu RUPS perusahaan menutup rapat.
Yang pertama saya lakukan adalah memberitahu istri – untuk hati-hati dengan suaminya yang bisa jadi sensi – karena post power syndrome. Saya bilang sama istri saya : “ ma,
kata orang ---suami-suami yang pensiun itu meskipun sudah tidak dibuat
stress lagi oleh perusahaan, tetapi justru istrinya yang membuat stress”. Istri saya kemudian menjawab : “ Insyaallah tidak pa…”.
Ternyata
saya tidak sempat bener-bener pensiun, justru keesokan harinya rumah
saya sudah berubah menjadi kantor. Tamu-tamu terus berdatangan untuk
berbagai urusan – sampai suatu saat kami memutuskan rumah itu terlalu
rame dan mulai kehilangan privacy-nya
sebagai rumah, sebelum sempat mengganggu ketenangan keluarga di rumah –
kami memutuskan untuk menerima tamu-tamu kami di rumah lain yang kami
siapkan khusus untuk ini.
Pindah kwadrant dari pegawai menjadi self-employer, business owner dan kemudian investor itu berat dan beresiko. Maka diperlukan dukungan dan pengertian secara all out dari pasangan kita.
Paduan Pengalaman Kita dan Perasaan Istri Kita…
Jangan pernah under estimate
dengan perasaan istri Anda…, itulah pengalaman saya. Meskipun di dunia
pekerjaan dan usaha kita punya pengalaman dan pengetahuan yang lebih,
perasaan istri akan baik buruknya suatu keputusan usaha atau investasi
sungguh merupakan sesuatu yang perlu dipertimbangkan.
Logikanya
begini, bila perasaan dia baik – maka dia akan ikut berdo’a untuk
kesuksesan keputusan usaha kita. Sebaliknya kalau perasaan dia tidak
baik, berdo’a-pun tidak akan sepenuh hati.
Maka meskipun seluruh keputusan usaha atau investasi itu kita yang memutuskan, kita tidak seharusnya mengabaikan feeling
istri kita. Ketika kemampuan dan upaya kita itu terbatas, do’a kita
bersama istri kita insyaallah bisa menjadi penyebab turunnya
pertolonganNya.
Harapan Jauh Kedepan…
25
tahun telah berlalu, kita tidak pernah tahu apakah kita masih punya
waktu untuk 25 tahun berikutnya. Maka ketika terjaga di malam hari, saya
suka ‘iri’ dengan calon bidadari surga (insyaallah) yang berada di
samping saya ini. Begitu tenang dan nyenyak tidurnya, seolah tiada beban
kehidupan di pundaknya. Dia insyaallah bisa bener-bener sampai surga
karena saya suaminya selalu ridla padanya. Sedangkan saya sendiri, siang
malam sejak usia 40 tahun terus berdo’a agar dimudahkan dalam beramal
yang diridlai-Nya (QS 46 :15), saya perlu terus dan terus berdo’a
karena tidak pernah tahu ‘amalan saya yang mana yang benar-benar bisa
mendatangkan ridla-Nya itu.
Tetapi lagi-lagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menghibur saya dengan janjinya : “Seseorang akan bersama orang yang dicintainya”.
(HR. Bukhari dan Muslim). Saya mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dan beliau tempatnya di surga, saya mencintai istri saya dan
insyaallah tempatnya juga di surga. Saya mencintai anak-anak yang
solehah, insyaallah tempat mereka di surga. Saya mencintai teman-teman
saya yang soleh dan solehah, mereka semua tempatnya juga di surga –
masa’ saya tidak diijinkan olehNya untuk bersama mereka ?”
Rabbanaa wa aatinaa maa wa ‘ad tanaa ‘alaa rusulika wa laa tukhzinaa yaumalqiyaamah innaka laa tukhliful mii’aad.