Sepasang suami istri di pertengahan umur 60-an datang ke saya beberapa kali dengan berbagai keluhan. Si Istri, yang lebih khawatir dengan "hipertensi"-nya, menjadi begitu "nerotik" karena takut menjadi stroke.
Saya, yang biasanya mengawali dengan sejumlah pertanyaan, sekali ini dibabat habis oleh sang nyonya yang tak henti-hentinya bercerita tentang tentang kebosanannya gonta-ganti dokter. Dan, dia semakin ngeri dengan obat-obatan yang diresepkan, namun tak mampu membendung tekanan darahnya yang kian merayap naik. Penglihatannya belakangan ini menjadi kabur serta buram.
Khusus untuk nyonya satu ini, saya biarkan dia nyerocos pada tiap awal pertemuan. Hingga suatu pagi suaminya tak tahan lagi lalu menyela, "Dok, gimana enggak hipertensi. Lha, dia bawaannya selalu nyolot, mudah tersinggung, dan,..." Sang nyonya memotong tak kalah sewotnya, "Aduh, dok, suami saya memang sudah enggak punya perasaan lagi. Saya sulit menjelaskan apa-apa sama dia, dia juga kerjaanya belain orang lain, bukan istri sendiri,...". Dan, ia pun mulai mewek,...
Dengan helaan napas panjang, suaminya berkata pelan, "Sejak anak kami meninggal setahun yang lalu, dia memang jadi begini, dok,...". Si istri melolong lebih keras lagi. Saya biarkan dia menghabiskan seperempat boks tisu. Maskaranya hancur berantakan, tentu saja.
Setelah ia agak mereda, saya bertanya, "Mengapa ibu menangis?". Ini pertanyaan tolol bagi banyak orang, memang. Tapi saya sengaja melakukannya. Ia menjawab di sela-sela isakannya. "Saya kasihan sama anak saya, dok,...Kok, masih muda sudah,...". Bisa ditebak: Ia melolong lagi. Kali ini, saya menempuk-nepuk punggung lenggannya, agar dia menjadi lebih tenang sedikit.
Pertanyaan kedua saya langsung membuatnya berhenti mewek, "Saya memahami perasaan ibu. Tapi, apakah ibu yakin bahwa yang ibu tangisi adalah dia, bukannya ibu sedang menangisi diri sendiri?"
Sang suami, yang takut istrinya panik dengan pertanyaan saya, langsung menyela, "Maksud dokter?"
Saya sedikti menelan ludah dan menarik napas panjang sebelum meneruskan. "Begini,...saya mengerti bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dicintai. Tapi, setelah satu tahun, dengan semua perjuangan emosi yang dilalui, apakah ibu masih menyesali kematian itu? Apakah buat ibu lebih baik dia tetap ada, sekalipun kondisinya sangat kacau, sekalipun dia barangkali cacat berat? Apakah ibu menyesali bahwa dia pergi meninggalkan ibu - sekalipun ia sekarang berada di tempat yang lebih baik?"
Mereka berdua tampak berpikir serius dan ketika bola mata sang nyonya bergulir menatap saya, tak saya sia-siakan momen itu - pertanyaan berikutnya barangkali sangat menampar, tapi itu adalah smash bagus pada game point, "Apakah ibu sedang menangisi diri sendiri, menghukum diri sendiri bahkan orang lain dan menjadi marah karena ia pergi meninggalkan ibu?"
Hari itu saya memberikan sang nyonya dan suaminya pe-er besar yang mereka belum pernah lakukan sebelumnya. Pe-er untuk melihat diri sendiri.
Seminggu kemudian, tanpa disangka mereka kembali ke tempat saya. Saya agak kaget karena sang nyonya tampil dengan potongan rambut yang berbebda, dandanan yang sangat minimalis, hanya sapuan lembut lisptik dan tanpa maskara (hmm, barangkali dia siap menangis lagi!).
Namun yang lebih mengangetkan adalah ketika ia tiba-tiba memeluk saya dan mengatakan, "Alhamdulilah," dok, sudah 4 hari ini....Aduh, tensi saya cakep banget...Padahal, tidak minum obat sama sekali,...dan,..." (Wah, mulai lagi - saya pikir - karena dia membetot tisu sekaligus 3 lembar)..."...dan mata saya, kok, mendadak terang....Duh, senangnya,..."
Ada sesuatu yang merayap lembut dalam dada saya. Perasaan hangat, indah, "invigorating" - yang membuat mata saya ikut berkaca-kaca. Suaminya tersenyum haru (yang naga-naganya mau memeluk saya juga, tapi mikir seribu kali) dan ia berkata, "Pe-er dokter awalnya sulit sekali. Kami berantem, dok, pada hari pertama...Dia tetep nuduh saya tidak punya perasaan seperti dia sebagai ibu,..."
Sang nyonya seperti biasa memotong (tapi kali ini lebih sumringah), "Enggak berantem-berantem amat, sih,...Tapi memang ternyata saya egois...saya cuman mikirin diri sendiri dan tega-teganya anak saya ninggalin saya...Ternyata, saya yang lebih kejam, ya, dok...Saya, kok, pake dia buat melayani kehausan cinta kasih saya,...Aduhhh, makanya Tuhan ambil dia. Tuhan ternyata tau banget bagaimana mendewasakan saya. Dia jutstru pilih yang paling dekat,... Tapi, ah, dok, saya sekarang malah hembira, karena anak saya dilepaskan dari siksaannya. Saya yakin dia juga melihat mamanya enggak sedih melulu, 'kan, ya..."
Saya hanya bisa tersenyum menatap keduanya. Memang betul, "penyakit" bisa jadi cetusannya dalam bentuk gangguan fungsional secara fisik. Namun, di balik itu, bila manusia tetap diperlakukan sebagai mahluk yang holistik, maka "penglihatannya pun dicerahkan." Ada sebuah buku bagus yang melihat sisi metafisik penyakit, yang ditulis oleh Louis Hay, seorang praktisi medis yang melakukan banyak sekali penelitian tentang interkoneksi kejiwaan seseorang dan penyakit yang diembannya. Penglihatan buram bagi "dokter biasa" dapat dihakimi sebagai pilihan beberapa jenis kelainan pada mata baik secara fungsional maupun anatomis.
Namun, aspek lain dari buramnya penglihatan dapat merupakan refleksi spritual yang "menolak melihat dunia apa adanya", "quit to see", "I would rather close my sight to be in my comfort zone...its is too risking to face the reality..."
Begitu pula bila Anda tidak mampu berbahagia. karena Anda sendirilah yang menolak "to see the happiness within myself". Happy New Year!
DR. Tan Shot Yen, adalah seorang medical doctor, praktisi energy healing, certified medical hypnotherapist, dan penulis buku Saya Pilih Sehat dan Sembuh, Dari Mekanisasi Sampai Medikalisasi, dan Resep Panjang Umur, Sehat, dan Sembuh.
taken from:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar