Majalah
Ummi No. 5/XXIII/September 2011 – Kolom Tafakur, oleh Meutia Geumala
“Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik
atau diam…” (HR Bukhari no. 6018, Muslim no. 47)
Kata-kata
kadang lebih menyakitkan dari apa pun. Menurut peribahasa Arab, “Al-kalaamu
yanfudzu maa laa tanfudzuhu ibaru”, artinya perkataan itu bisa menembus apa
yang tidak bisa ditembus oleh jarum (hati) – atau nyelekit, kata orang Sunda.
Bukan
hanya masyarakat umum, orang selevel Ketua DPR RI bisa juga memberi komentar
yang membuat rakyat mengurut dada. Ketika Mentawai digoncang tsunami, ia
menyalahkan penduduk yang tinggal di pinggir pantai sehingga terkena tsunami.
Saat
anggaran pembangunan gedung megah DPR yang menuai banyak protes digodok, ia
bilang pembangunan tak perlu melibatkan pendapat rakyat. Dan sekarang, di saat
Negara sedang carut-marut digerogoti benalu korupsi, ia memberi ‘solusi’ agar
Komisi Pemberantasan Korupsi dibubarkan saja dan para koruptor dimaafkan.
Bicara
memang gampang, tapi sering kali kita tidak memikirkan efek dari lisan kita.
Bahkan, menurut penelitian, 80% pemicu kerenggangan suatu hubungan disebabkan
oleh nada suara. Saya jadi teringat analogi Aa Gym, katanya mulut kita ibarat
corong teko.
Teko
hanya akan mengeluarkan isi yang ada. Kalau di dalamnya air bersih, yang keluar
bersih. Sebaliknya, kalau di dalam kotor, yang keluar pun kotoran. Karenanya,
lihatlah yang keluar dari lisan seseorang, maka seperti itulah kualitas orang
tersebut.
Tak
heran jika Rasulullah saw mewanti-wanti, “Barang siapa yang dapat menjamin
untukku apa yang ada di antara dua dagunya (lisan) dan apa yang ada di antara
kedua kakinya (kemaluan) maka aku menjamin untuknya surga,” (HR Bukhari).
Selain
kemaluan, lisanlah yang paling berpotensi menjerumuskan pada kebinasaan,
sekaligus menentukan derajat seseorang. Derajat pertama adalah orang
berkualitas, bicaranya selalu bermanfaat, sarat dengan hikmah, ilmu, solusi,
atau zikir. Kedua, derajat orang yang biasa-biasa, cirinya mudah mengomentari
apa pun yang dilihat atau didengarnya, walau tidak ada manfaatnya. Ketiga orang
rendahan, ia mudah mencela, mengeluh, dan selalu memandang dari sisi negatif.
Sedangkan keempat, orang yang dangkal, selalu menceritakan kelebihannya dan
ingin terus dihargai.
Tak
pelak lagi, kita tak mungkin mengabaikan penjagaan terhadap anugerah Allah
berupa daging tak bertulang ini. Kiat yang utama adalah meminta bantuan Allah
agar terhindar dari bahaya lisan dan rutinkan zikir.
Lalu,
sensitiflah terhadap orang lain, baik perasaan atau ekspresi wajah orang yang
kita ajak bicara. Tidak layak jika kita ingin orang lain memahami isi
pembicaraan kita namun kita tak peduli apakah itu menyinggungnya atau tidak.
Jika tak yakin apakah nanti kata-kata kita bermanfaat atau tidak, maka diam
adalah lebih baik. Rajinlah beristighfar karena mungkin tanpa sadari kita masih
saja mengeluarkan ‘bunyi’ yang tak bermanfaat.
Mari,
jadikan lisan yang menyejukkan sebagai salah satu target amal yang kita pertahankan
setelah Ramadhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar