Jika
direnungkan, jodoh impian kita adalah sesuai dengan tingkat kedewasaan dan
keimanan kita. Ada orang yang memimpikan mendapat suami yang ekonominya mapan
karena ia sudah lelah menjalani hidup susah. Ada yang mengiba memohon kepada
Allah dan meminta keadilan dari Allah supaya segera diberi jodoh tapi
ikhtiarnya untuk menarik simpati Allah sangat sedikit. Maka tak heran jika
Allah mengabulkan doa kita sesuai dengan kecenderungan sikap kita sendiri.
Pernikahan
juga jangan dibayangkan dengan hal-hal yang indah saja. Bagi yang demikian, ia
akan kaget menghadapi luar biasanya ujian dalam rumah tangga. Jika kesiapan
hakiki tidak dipupuk sejak awal menikah, tak heran jika kalimat “tidak cocok
lagi” bisa tumbuh seiring dengan kedewasaan yang tak juga cepat terbangun
setelah menikah.
Padahal
janji Allah itu pasti, “Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sekadar
sesuai kesanggupannya, “ (QS Al-Baqarah [2]: 286).
Di
balik jodoh yang tak kunjung datang, sungguh terkandung hakikat – betapa Allah
sangat sayang pada hamba-Nya, tidak ingin membuat kita yang belum siap
menghadapi realita rumah tangga semakin terpuruk dengan ketidaksiapan kita.
Dan
di tengah kekacauan hubungan kita dengan pasangan, jangan berpikir, “mengapa
suami selalu mengecewakan?” Tapi berpikirlah bahwa pasangan kita sesungguhnya
bukan milik kita yang pantas kita bentuk semau kita. Ia adalah milik Allah yang
tengah dijadikan sebagai sarana Allah untuk membuat kita layak mendapatkan
surga-Nya, melalui berbagai ujian kesabaran yang mengiringinya.
Maka
jika suami kita adalah milik Allah dan niat menikah adalah betul untuk ibadah,
kita tak akan terlalu banyak menuntut pada suami. Kebaikan kita untuknya pun
tak harus mengharap balas.
Sesungguhnya
kematangan dan keimanan seseorang di ukur dari kemampuannya menyelesaikan
masalah. Jadi, jangan bertanya kapan ujian ini berakhir melainkan kapan
kematangan dan keimanan kita hadir?
Majalah Ummi No. 5/XXIII/September 2011 – Kolom
Bahasan Utama, oleh Meutia Geumala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar