Jumat, 28 Januari 2011

If It’s to be, It’s up to……?


Saya senang memancing. Bukan mancing ikan, tapi memancing reaksi. Contohnya dengan judul di atas itulah. Bagi yang tidak terbiasa dengan refleksi diri, tentu menjadi pertanyaan yang sangat provokatif. Bahkan dianalisa dengan berbagai makna. Padahal kalau diterjemahkan, maksudnya sudah sangat jelas : Bila terjadi sesuatu, maka sesuatunya itu tergantung pada….(tebak,..  siapa?)

Kebiasaan mengarahkan telunjuk pada sesuatu di luar sana sebagai penyebab segala sesuatunya bukan hal yang baru. Paling tidak sudah ada sejak jaman Siti Nurbaya. Makanya ada peribahasa “Lempar batu, sembunyi tangan”. Tulisan ini muncul karena setiap kali ada pasien ditanya: "Kok, bisa, waktu gadis beratnya hanya 45 kilo tapi sekarang 65 kilo? Dari mana datangnya tambahan 20 kilo itu?" Sambil cengengesan biasanya dijawab: "Kan, anak udah dua, Dok… " (dan saya pun membathin: duh, kasihan sekali anaknya jadi sasaran!). Variasi jawaban lain: "Wah, ini gara-gara KB…" (karena itu iklan alat KB ada yang gegap gempita berkata: ”tanpa bikin gemuk!”). Ada lagi jawaban yang bikin gemes: dengan cueknya sambil memandang ke langit-langit : "Tauuukkk…..!"

Dalam semua episode kehidupan, ada satu-satunya hukum dagang yang benar-benar “terpakai”: You get what you pay. Dengan menunjuk pada sesuatu di luar sana sebagai penyebab dari apa pun yang terjadi dalam hidup saya, saya memperoleh cukup banyak “keuntungan”: saya tidak dipersalahkan, saya sama sekali tidak perlu bertanggung jawab dengan semuanya, bahkan dengan apa yang terjadi pada diri saya sendiri. Sama halnya dengan cara-cara klasik seseorang memeriksakan diri ke dokter. Hlo, dokter, kan, paling tahu tentang penyakit saya? Jadi bila dia melakukan malpraktek, saya tinggal menuntutnya. Beres. Persis pula dengan yang terjadi di dunia usaha dan kerja kantoran. Hlo, yang tanda tangan, kan, direkturnya? Salahkan saja dia. Nampaknya begitu mudah menuding seseorang (atau kalau orangnya tidak ada dan tidak jelas, tudinglah sesuatu yang lebih maya: salah negara, salah keadaan, salah zaman..) – lebih parah lagi, mengatasnamakan Sang Ilahi – dan mengambil wewenangNya untuk mengatakan : “Sudah kehendak Yang Kuasa..”

Namun jangan lupa. Setiap keuntungan, pasti ada sisi ruginya. There is always pain in everything you gain. Kebiasaan menjulurkan telunjuk ke pihak lain menyebabkan saya tidak lagi mampu melihat diri sebagai sosok yang bermakna. Karena segala sesuatu terjadi, pasti “gara-gara yang di luar situ…”. Saya begini, karena dia begitu. Saya seperti ini, akibat dia tidak seperti harapan saya, akibat dia tidak menepati janjinya. Dengan kata lain, hidup-mati susah-senangnya saya tergantung dari…. (yang pasti, bukan saya sendiri yang menentukan). Very pathetic. Implikasinya? Saya baru bisa senang kalau suami setia. Nasib baik berpihak pada saya. Ketemu suami setia. Hlooo,… anak-anak, kok, kurang pinter? Duh. Saya baru bisa bahagia kalau suami setia dan anak pinter-pinter. Celaka,… suami setia, anak pinter, mertua mata duitan… Tobat. Lalu, kapan saya sungguh bisa seneng?!




Banyak tokoh powerful’ yang dikenal dunia sebenarnya bukan sebagai orang pertama yang mengetengahkan penemuan atau gagasannya. Mereka menjadi powerful karena memegang kendali atas hidupnya sendiri. Meletakkan tanggung jawab dan mengklaim kepemilikan peran pada dirinya sendiri. Bahwa dirinya sanggup membuat pilihan, and make a stand. Berpendirian kokoh dengan visinya dan menjalankan apa yang diniatkannya. Kepuasan, kebahagiaan dan nilai permanen atas hasil yang telah dicapai dan perubahan yang diinginkan didapat bukan karena bersandar pada orang lain, bukan karena menjadi oportunis di tengah kemelut keadaan. Seorang pasien yang sangat fenomenal dan mencapai penyembuhan optimalnya bukan karena berhasil menemukan obat mujarab di tangan tabib ajaib. Seorang penyembuh hebat adalah ia yang pernah sakit berat lalu menjadi sembuh karena ia paham mengapa menjadi sakit, melalui proses sakitnya sebagai “a lesson to learn”, ia tidak melarikan diri atau berserah diri pada teknologi dan hasil analisa manusia lain. Namun ia memahami sungguh peran apa yang ia jalankan sejak sebelum sakit, mengambil pilihan dalam penyembuhannya sebagai tokoh otonom, bertanggung jawab dengan semua hasil yang dicapainya dan merayakan serta mensyukuri setiap jengkal kemajuan dirinya menuju kesembuhan.

Kebiasaan untuk selalu terlibat, mau ambil peran, memilih dengan bertanggung jawab dan menghargai semua outcome sebagai “apa yang saya hasilkan” merupakan contoh berharga bagi anak. Mana mungkin mengajak si kecil makan sayur bila orang tuanya diam-diam ngopi-ngopi bertemankan donat, sekalipun fitness tiga kali seminggu? Saya hanya bisa diandalkan, apabila ada kesejajaran dan kecocokan antara apa yang saya katakan dan hasil yang saya ciptakan, melalui pilihan-pilihan perbuatan saya. Itu saja. Insya Allah, bila Anda mempertanyakan nilai ulangan anjlok kepada si jagoan kecil, dia tidak memandang ke langit-langit lalu menjawab sekenanya, ”Tauukk…. Payah gurunya. Pilih kasih. Soalnya susah-susah, nggak sama kayak waktu latihan….”  If it’s to be, it’s up to…ME (pastinya!).



Dr. Tan Shot Yen, kinesiolog, sekaligus praktisi Braingym dan Quantum Touch, energy healing. Ia juga dikenal sebagai basic & advanced clinical hypnotherapist di Internasional Center for Hypnosis Education & Research. Selain sibuk menjadi pembicara dan narasumber di berbagai seminar, talkshows dan media, dia juga dipercaya menjadi co-teacher di kursus-kursus medical hypnotherapy. Wanita yang sedang sudah menyelesaikan studi di Program Magister Filsafat Manusia, STF Driyarkara ini juga aktif sebagai konsultan di Health Service Program – USAID.


taken from:
http://preventionindonesia.com/article.php?name=/if-its-to-be-its-up-to&channel=dr_tan




Tidak ada komentar:

Posting Komentar