Jumat, 23 September 2011

‘Corong Teko’ di Mulut Kita


Majalah Ummi No. 5/XXIII/September 2011 – Kolom Tafakur, oleh Meutia Geumala


“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam…” (HR Bukhari no. 6018, Muslim no. 47)

Kata-kata kadang lebih menyakitkan dari apa pun. Menurut peribahasa Arab, “Al-kalaamu yanfudzu maa laa tanfudzuhu ibaru”, artinya perkataan itu bisa menembus apa yang tidak bisa ditembus oleh jarum (hati) – atau nyelekit, kata orang Sunda. 

Bukan hanya masyarakat umum, orang selevel Ketua DPR RI bisa juga memberi komentar yang membuat rakyat mengurut dada. Ketika Mentawai digoncang tsunami, ia menyalahkan penduduk yang tinggal di pinggir pantai sehingga terkena tsunami. 

Saat anggaran pembangunan gedung megah DPR yang menuai banyak protes digodok, ia bilang pembangunan tak perlu melibatkan pendapat rakyat. Dan sekarang, di saat Negara sedang carut-marut digerogoti benalu korupsi, ia memberi ‘solusi’ agar Komisi Pemberantasan Korupsi dibubarkan saja dan para koruptor dimaafkan. 

Bicara memang gampang, tapi sering kali kita tidak memikirkan efek dari lisan kita. Bahkan, menurut penelitian, 80% pemicu kerenggangan suatu hubungan disebabkan oleh nada suara. Saya jadi teringat analogi Aa Gym, katanya mulut kita ibarat corong teko. 

Teko hanya akan mengeluarkan isi yang ada. Kalau di dalamnya air bersih, yang keluar bersih. Sebaliknya, kalau di dalam kotor, yang keluar pun kotoran. Karenanya, lihatlah yang keluar dari lisan seseorang, maka seperti itulah kualitas orang tersebut. 

Tak heran jika Rasulullah saw mewanti-wanti, “Barang siapa yang dapat menjamin untukku apa yang ada di antara dua dagunya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) maka aku menjamin untuknya surga,” (HR Bukhari). 

Selain kemaluan, lisanlah yang paling berpotensi menjerumuskan pada kebinasaan, sekaligus menentukan derajat seseorang. Derajat pertama adalah orang berkualitas, bicaranya selalu bermanfaat, sarat dengan hikmah, ilmu, solusi, atau zikir. Kedua, derajat orang yang biasa-biasa, cirinya mudah mengomentari apa pun yang dilihat atau didengarnya, walau tidak ada manfaatnya. Ketiga orang rendahan, ia mudah mencela, mengeluh, dan selalu memandang dari sisi negatif. Sedangkan keempat, orang yang dangkal, selalu menceritakan kelebihannya dan ingin terus dihargai. 

Tak pelak lagi, kita tak mungkin mengabaikan penjagaan terhadap anugerah Allah berupa daging tak bertulang ini. Kiat yang utama adalah meminta bantuan Allah agar terhindar dari bahaya lisan dan rutinkan zikir. 

Lalu, sensitiflah terhadap orang lain, baik perasaan atau ekspresi wajah orang yang kita ajak bicara. Tidak layak jika kita ingin orang lain memahami isi pembicaraan kita namun kita tak peduli apakah itu menyinggungnya atau tidak. Jika tak yakin apakah nanti kata-kata kita bermanfaat atau tidak, maka diam adalah lebih baik. Rajinlah beristighfar karena mungkin tanpa sadari kita masih saja mengeluarkan ‘bunyi’ yang tak bermanfaat. 

Mari, jadikan lisan yang menyejukkan sebagai salah satu target amal yang kita pertahankan setelah Ramadhan. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar